Pages

IUFD : cerita lahiran setahun lalu

Janin itu meninggal di dalam rahim..



Tepat 1 tahun yang lalu, 22 April 2019, saya melahirkan per-vaginam dengan bantuan induksi untuk ke-2-kalinya. Saat itu usia kandungan saya sekitar 20 weeks.

Kali ini rasanya luar biasa..
Lebih sakit dari proses lahiran anak saya yang pertama, bahkan disentuh sedikit pun merangsang rasa sakit sekujur tubuh.
Subhanallaah...

Sebelumnya, Jum'at, 19 April 2019, saya memeriksakan kondisi kehamilan ke-2 saya. Saya pikir, sudah saatnya kontrol karena vitamin sudah habis dan hampir 2 bulan tidak kontrol karena kondisi saya sedang berada di kampung halaman. Jujur, memang saya kurang nyaman dengan fasilitas dan layanan kesehatan di Situbondo.

Cukup lama saya memutuskan untuk kontrol lagi, searching dan tanya sana-sini tentang rekomendasi Sp.OG di kota santri kelahiran saya, akhirnya firasat saya mengatakan harus segera kontrol!

Sekitar jam 5 sore..
Dan pasrahlah saya sama dokter di jadwal praktik hari Jum'at itu. Saya ingat betul, saya mendapat nomor antrian ke-10.
Hari itu, dokter bolak-balik ke ruang operasi. Operasi darurat katanya, ada sekitar 5x.

Sekitar 22.00 WIB,
Nomor antrian 9 baru saja keluar, tapi dokter harus kembali ke ruang operasi.
Saya kebelet pipis, dan saat di toilet, saya melihat ada flek darah!
Jantung saya berdetak lebih cepat, tak menentu, entah perasaan apa, tangan saya seketika mendingin.

Sekitar setengah jam berlalu, nama saya dipanggil masuk ruangan konsultasi dengan dokter. Saya langsung diminta berbaring, cek USG...
"Ibu, ini itu aliran darah", dokter menjelaskan tanda warna yang ada di luar rahim.

"Ini kepala, tangan, udah berbentuk ya, Bu", lanjut dokter.

"Masyaa Allaah, alhamdulillaah", dzikir saya tiada henti menyebut kebesaran-Nya.

Alat USG bergerak mencari detak jantung, "tapi, kosong, Bu!"

"Maksudnya, dok?", tanya saya memperjelas.

"Ibu terakhir kontrol kapan?"

"Sudah hampir 2 bulan yang lalu, dok"

"Iya, bu, biasanya usia segini itu sudah ada detak jantungnya ya"

DEG! Rasanya waktu membeku..

Saya simak setiap penjelasan dokter, bahwa jika melihat bentukannya masih bagus, kejadiannya bisa aja baru banget. Dan karena itulah saya tidak percaya atas pernyataan dokter yang menyebutkan bayi saya meninggal!
Saya butuh second opinion.
Dan lagi, sepanjang malam saya tidak nyenyak, hanya browsing tentang rekomendasi dokter terbaik di wilayah tapal kuda.
Saya ingin yang terbaik! Walau harus ke Jember, atau Probolinggo, akan saya tempuh!

Sabtu, 20 April 2019, saya mengunjungi seorang kawan yang berprofesi sebagai bidan. Dan dia memeriksa perut saya dengan doppler. Statement-nya sama, tidak mendengar detak jantung bayi. Dia menyebutkan beberapa nama dokter Obgyn yang menurutnya cukup mumpuni memberikan konsultasi, tapi sayangnya dokter-dokter tersebut lelaki semua 😌

Ijin suami, ridho suami, saya pun pergi ke salah satu dokter terdekat yang disebutkan. Praktiknya di daerah Bondowoso, yang ternyata tante saya pun punya riwayat konsultasi yang cukup baik dengan beliau. Suami tidak ikut mengantar, saya hanya ber-3 dengan Arra (anak pertama saya) dan driver keluarga Pak Dhe.
Kebetulan, suami baru masuk beberapa hari sebagai CPNS, jadi dirasa tidak elok jika harus ijin sehari penuh untuk mengantar saya ke Bondowoso.

Jam 8 pagi saya sudah tiba di klinik praktik dokter yang disebutkan, dr. Gede namanya.Tak butuh waktu lama di ruang periksa, langsung USG dan dokter memang sudah memastikan bahwa kondisi janin sudah tidak baik, ada semacam patahan di lehernya dan menyarankan untuk segera dilahirkan tapi di RS terdekat dengan rumah agar memudahkan. Subhanallaah...
Cepat sekali perubahannya..
Padahal 2 hari sebelumnya saya bed rest dan tidak banyak bergerak.

Akhirnya, saya langsung ke RS dekat kantor suami.
Jam 12 siang, saya masuk. Suami ikut dan ijin terlambat kembali ke kantor karena mengurus administrasi. Sekitar jam 2 siang, saya sudah berbaring dan diinfus di ruang bersalin. Saya diharuskan minum obat induksi di waktu yang sudah ditentukan.

Sekitar ba'da ashar, perut sudah terasa mulas..
Ba'da maghrib, rasanya melilit hebat. Suami belum juga kembali membawa baju ganti dan perlengkapan pasca melahirkan darurat ini. Saya cuma bisa uring-uringan seorang diri. Ada 2 orang kawan yang datang mengunjungi, tapi rasanya saya sudah tidak fokus karena sakit yang super hebat.

21.05 WIB, pecah ketuban, suaranya kencang kayak balon meletus!
21.30 WIB, ada yang dirasa keluar...
Saya minta suami cek, dan.. "iya, kayaknya itu janinnya", katanya..

Rasa mulas berangsur hilang, tapi sakit dan perjuangan saya belum berakhir.
Lagi, plasenta gak mau keluar! Jadi harus "dipaksa"!

Yaa Allaah..
Mengingat kejadian itu rasanya super sakit, saya mengutuki diri sendiri bahwa saya gak mau lahiran lagi di kampung! Walau itu di RS!
Saya dibantu 4 bidan saat mengeluarkan plasenta, tapi hanya 1 bidan yang dengan sabar dan berhasil..

Entah berapa lama itu terjadi, tapi sakitnya terasa sangat lama!
Kaki saya sampai bergetar hebat!

Allah Maha Tahu!

Sedih sudah pasti, tapi selalu ada hikmah di balik setiap kejadian..

Allah sayang saya, Allah sayang keluarga saya.
Allah tahu saya gak akan sanggup membesarkan bayi saat harus berjauhan dengan suami dan menemani pengobatan Ibu saat ini.

Pagi hari sebelum proses induksi itu, saya SMS Bapak Rahimahullaah..
Meminta maaf, tak disangka balasan Bapak membuat nyeri hati saya..

"Kalo Mbak Isa terlalu repot dengan Ara saat nanti adiknya lahir... Ara biar bapak dan ibu saja yg momong... Itupun kalo boleh sama Mbak Isa dan suaminya..."
Saya hanya bisa membalas dan menyampaikan bahwa I'm okay.
"Adiknya harus dilahirkan segera, pak.. :-) insyaa Allah riza sama Ara gapapa. Mohon doanya saja. Jangan bilang siapa2."

Maafkan Riza, Pak..
Banyak hutang belum tertunaikan..

Tabik,
@rizazizah Book Advisor 📚

***Tulisan, sebagai pengingat
Mengingat kembali IUFD (Intrauterine Fetal Death)

Manusia hidup dari satu ujian ke ujian lainnya


"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
Q.S. Al-Baqarah : 286
Update tulisan terakhir di blog ini 2 tahun lalu tentang cerita adik saya, qadarullaah dia gagal masuk di PTN dan harus gap year mengikuti Ujian di tahun selanjutnya. Alhamdulillaah, tahun lalu berhasil dan sekarang mau jadi calon dokter (hewan), mohon doanya ya, kawan 😊

Duh, pengen deh aktif berbagi di blog. Tapi ISTIqomah itu emang super duper extra effort daripada sekedari ISTIrahat yaa 🤣

Ikhtiar maksimal, Hasil optimal

Kata maksimal itu ternyata ga ada batasnya, sodara-sodara!
Kalau kita ngeluh, capek, lelah, kita masih bisa berusaha lagi, mencoba lagi...
Sama kayak ujian masuk PTN, ada 3x kesempatan, bahkan ada banyak jalur untuk mencoba. Kalau sekali aja udah nyerah, yaa kelihatan kualitas diri kita..
Dan ini berlaku ke segala hal! 

Hari ini, Ibu saya sedang menjalani proses pengobatan lagi.
Buat yang aktif membaca blog saya, duileee kayak yang sering aja aku tuh update blog 🙈, pasti tau ya Ibu saya punya riwayat Tumor Nasofaring skala ganas!

Pertama kali terdeteksi di tahun 2010, sempat menjalani operasi berulang tiap tahun, hingga akhirnya di tahun 2013-2014 menjalani kemoterapi dan kemoradiasi (kemoterapi+radiasi sekaligus). Finansial kami diuji, kekuatan Ibu pun demikian. Bapak (rahimahullaah) membesarkan hati saya dan adik saya jika terjadi hal terburuk pada Ibu. Setelah ikhtiar maksimal, entah berapa besar biaya yang sudah dikeluarkan, hingga ujung tombak krisis keuangan, kamì pasrah, Ibu pun menghentikan pengobatan medis dan beralih ke pengobatan herbal. Ibu meyakini efek obat herbal itu lambat tapi tidak akan merusak seperti halnya kemoradiasi yang Ibu rasakan luar biasa mengubah fisik dan kekuatan Ibu.

Alhamdulillaah..
Kondisi Ibu berangsur membaik...
Walau tidak bisa dipastikan apakah tumor itu sudah benar-benar hilang dari tubuh Ibu atau tidak.

5 tahun berlalu, tepatnya bulan Agustus 2018, Ibu jatuh dari tangga di rumah!
Kepanikan luar biasa terjadi, ketakutan teramat saya rasakan..
Hanya berdua adik di rumah, juga ditemani si kecil yang tak mengerti dan tak bisa berbuat banyak, saya bingung...
Alhamdulillaah para tetangga baik hati membantu kami, mengangkat Ibu yang mulai kehilangan banyak darah, kemudian menggotong dan membawa Ibu ke IGD terdekat. Namun, fasilitas tak memungkinkan sehingga harus merujuk Ibu ke faskes yang lebih baik.

Ah iya, saya belum bercerita banyak, saya sudah menikah dan saat ini dikarunia seorang putri cantik, lain waktu akan saya ceritakan lebih banyak, atau bisa mampir kesini 😁

Saat kejadian itu suami saya sedang di luar kota, Bapak saya juga sedang pulang kampung, touring. Sudah kebayang donk kondisi yang saya hadapi?

Singkat cerita, setelah pemeriksaan ini itu, kami semua dikejutkan dengan berita bahwa tumor Ibu sudah mengalami metastasis ke Paru. Rabbana!

"Ibu gapapa kok, gapapa!", begitu besar kekuatan dan semangat hidup yang Ibu miliki. Entah seberapa cantik hati Ibu, calon bidadari syurga insyaa Allaah...
Ketika saya hancur, tidak dengan Ibu yang bisa menyembunyikan rasa sakit di dalam tubuhnya..

Setelah kejadian itu, fisik Ibu tidak seperti biasa. Ibu harus fisioterapi, tapi karena jarak rumah dan kondisi keuangan kami (pengobatan kemoradiasi terdahulu masih menyisakan tanggungan hutang ke kantor Bapak yang menjamin asuransi), Ibu hanya menjalani pengobatan alternatif patah tulang. Hampir 2 bulan lamanya Ibu hanya bisa rebahan di kasur, dan kalau kemana-mana hanya dibopong Bapak.
Ya, begitu sayangnya Bapak sama Ibu!
Yaa Rabb, hitung ini sebagai amalan untuk menerangi kubur bapak dan kunci menuju surga-Mu..

Ibu yang sakit, Bapak mendahului berpulang..
28 Agustus 2019..
Agustus beberapa tahun terakhir selalu ada ujian bagi keluarga kami..

Selanjutnya, Ibu mulai bisa berjalan, tapi kepalanya masih tidak bisa menoleh dengan sempurna, masih kayak 'robot' saat berjalan.

"Alhamdulillaah masih diberi kesempatan bernafas, jalan ke kamar mandi sendiri, bahkan ini bisa berjemur, Ibu gapapa!", begitu selalu yang Ibu ucapkan...

Akhir 2018, Ibu merasakan hidungnya mulai tidak nyaman.
"Ibu periksa aja deh! Eman BPJS-nya ga dipake!", perintahku dan akhirnya di-iya-kan

Waktu terus berjalan, terasa sangat lambat pasti bagi Ibu yang menjalani berbagai pemeriksaan ini itu, kemudian menjalani operasi pengangkatan tumor kembali (untuk ke-4-kalinya) di bulan Februari 2019.
Dokter sudah menyarankan agar Ibu kembali menjalani kemo/radiasi.
Tapi saya menolak dengan keras!

"Ibu tuh udah kurus begini, Isa takut Ibu gak akan kuat! Mau jadi apa nanti kalau kemo lagi? Udah lah herbal aja, beli lagi obat yang dulu dari Oom Jo itu kan kata Ibu enakan?", entah kepanikan macam apa yang tersirat dari kata-kata saya. Saya gak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada Ibu saat menjalani kemoterapi kembali.

Hingga akhirnya...
Hari ini, saya menuliskan ini di kamar kosan, menunggui Ibu saya..

Tepatnya 16 Maret 2020, 2 hari sebelum jadwal operasi (ke-5), Ibu diharuskan rujuk ke RSCM, di masa pandemi, kebayang betapa kosongnya pikiran saya? Entah emosi apa yang ada kala itu, marah, sedih, bingung, segalanya..
Padahal Ibu sudah kembali mimisan, banyak keluhan yang dirasakan, hanya menanti 2 hari lagi untuk menjalani operasi yang sudah dijadwalkan lebih dari sebulan sebelumnya dan berharap deritanya sedikit terobati.
Belum lagi pikiran bagaimana dengan anak saya ketika saya harus menemani Ibu kemoradiasi (yang sudah dipastikan gak akan bisa pulang-pergi ke rumah karena kondisi jarak dan fisik Ibu tentunya), betapa frustasinya saya yang juga sedang menjalani LDR, adik saya sedang berkuliah jauh di pulau seberang, kami perantau, jauh dari keluarga...

oh Tuhan.. 
ujian apa ini namanya?

*************
Tabik,
@rizazizah Book Advisor 📚

Celoteh Riza @ kamar kosan di Hari Ibu, karena kartini sesungguhnya adalah Ibu yang menampakkan kekuatan sejatinya menjalani segala ujian ❤