Pages

Malam...

Setiap tahun yang telah saya lewatkan di ibu kota memberikan banyak petualangan. Pun di tahun 2011. Mungkin ini belum di akhir perjuangan saya di tahun 2011, tapi sungguh... Malam-malam akhir ini sungguh luar biasa...

Ternyata malam mengajarkan begitu banyak hal...
Tentang si kaya dan si miskin, tentang tawa atau pun tangis, bahkan tentang ironi kehidupan...

Kemaren malam si kecil dan ibunya mengajarkan saya tentang sebuah penerimaan, keikhlasan, kesederhanaan yang begitu mewah, dan... tentang senyuman manis dalam kepahitan....

Malam ini, sang kakek bercerita dari guratan wajahnya yang tak putus asa... Walau malam, walau pun lembar daun itu telah layu, walau perut sudah mulai bernyanyi, tapi semangat juang untuk orang2 tercintanya yang menunggu di rumah, tak hentikan langkah kakinya yang saya tahu pasti lelah menempuh jalan yang tak pernah mengerti kata iba, pendakian, jalan berbatu atau pun lebih dari sekedar asap knalpot...


Kemudian, para lelaki di jembatan itu... Lewatkan malam dengan sehelai kaos belelnya, dan sarung yang kulihat tak berwarna cerah lagi... Esok hari, ketika saya gerakkan mesin CS1, mungkin saya akan temui mereka dengan harapan yang sama, menunggu mangkuk baja bermotor mengangkut mereka... Seperti yang saya temui 3 hari belakangan...

Masih teringat jelas di memori saya, 20 Mei 2008 yang lalu..
Di bis perjalanan pulang setelah melaksanakan tugas sebagai paduan suara mahasiswa UI di Istora Senayan, saya dan seorang kawan bercakap tentang penjual kopi di pinggiran trotoar ibu kota yang menawarkan kegemerlapan lampu malamnya... dan cerita kehidupan malam lainnya di ibu kota tercinta...

Hari ini, 22 Juni 2011, HUT Jakarta ke-484, di tengah segala kemeriahan yang ditawarkan, banyak yang tak mendengar. Jangankan ikut menikmati atau sekedar tahu apa yg terjadi, mereka sibuk memikirkan dirinya sendiri dan keluarganya. Namun, tak ada jerit mengeluh mendesak penguasa yang mungkin menikmati kehangatan selimut tebal di kamar ber-AC dengan extra-bed mengetahui kondisi mereka yang tergeletak di pelataran...

Teringat sebuah kisah...

Suatu malam di Madinah. Malam yang tenang menyelimuti mereka yang sudah ke peraduan. Seorang lelaki menyingkirkan selimutnya, bangkit berjalan menyusuri lorong2 yang sepi. Angin berhembus dingin menusuk tulang. Lelaki itu keluar seorang diri menyatu dengan malam. Dia tidak boleh tidur. Dia khawatir ada musafir terlantar kerana tidak ada tempat penginapan, khawatir ada orang sakit memerlukan obat, dan ada orang kelaparan yang tidak menemui sesuatu untuk mengalas perut. Dia khawatir ada urusan rakyatnya yang dia abaikan. Bahkan dia juga berasa bertanggungjawab terhadap seekor keledai yang tergelincir di tepi sungai Furat. 

Lelaki itu adalah Amirul Mukminin. Yaaa... Dialah Umar bin Khattab...  

Lama sekali Umar menghabiskan waktu untuk mengelilingi kawasan pada malam yang gelap gelita itu. Keletihan dirasainya, lalu Umar bersandar sejenak pada sebuah tembok rumah kecil di hujung Kota Madinah untuk beristirahat dan meneruskan sedikit lagi langkahnya ke Masjid Nabawi. Fajar hampir menyingsing. Di antara suara binatang malam Umar terdengar sayup2 suara dua orang wanita di dalam rumah yang kecil itu. Suara seorang ibu dengan puterinya. Si puteri berdebat dengan ibunya dan menolak mencampurkan susu yang diperah dengan air. 

Si ibu berkata, "Campurkanlah susu itu dengan air!

"Amirul Mukminin melarang susu campuran. Apakah ibu tidak mendengar dia melarang perbuatan itu?"" ujar si anak. 

"Umar tidak melihat kita. Dia tidak mungkin mengetahui perbuatan kita di penghujung akhir malam ini!" kata si ibu. 

Seketika puterinya menjawab, "Wahai ibu, seandainya Umar tidak melihat kita tetapi Tuhan Umar melihat kita. Sungguh demi Allah, aku tidak akan melakukannya. Allah juga melarang perbuatan itu!

Hati Umar sejuk oleh sebuah jawaban yang memadukan kejujuran dan keimanan, ketaatan kepada Allah dan perasaan diawasi oleh Allah. Umar mempercepatkan langkahnya ke masjid dan menunaikan solat subuh bersama para sahabat. Setelah itu Umar kembali ke rumahnya. Kata2 jujur gadis tadi terngiang2 dalam pendengarannya "seandainya Umar tidak melihat kita tetapi Tuhan Umar melihat kita". 

Teringat pula kisah lain Umar di malam lainnya...

Umar terus mengayunkan langkahnya. Gelap terus merambat menuju penghujung malam. Dikejauhan, khalifah kedua pengganti Rasulullah SAW itu, melihat nyala kecil dari sebuah gubuk. Umar mendekat. Dari dalam Umar mendengar suara tangis anak-anak.

Umar memperhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat melihat seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya. Sang ibu kelihatan sedang memasak sesuatu. Setiap kali anak-anaknya menangis, sang ibu berkata, "Tunggulah, sebentar lagi makanan matang".

Selagi Umar memperhatikan dari luar, sang ibu terus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan tak lama lagi akan matang. Umar penasaran.  

Setelah memberi salam dan meminta izin, ia masuk dan bertanya, "Mengapa anak-anak ibu tak berhenti menangis?".

"Mereka kelaparan," jawab sang ibu.

"Mengapa tak ibu berikan makanan yang sedang ibu masak sedari tadi?" tanya Umar.

"Tak ada makanan. Periuk yang dari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah mereka berpikir periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur."

"Apakah ibu sering berbuat begini?" tanya Umar

"Ya. Saya tidak memiliki keluarga dan suami tempat saya bergantung. Saya sebatang kara," jawab sang ibu dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.

"Mengapa ibu tidak meminta pertolongan kepada khalifah? Mungkin ia dapat menolong ibu dan anak-anak dengan memberi bantuan dari Baitul Mal?  Itu akan sangat membantu kehidupan ibu dan anak-anak," ujar Umar.

"Khalifah telah berbuat dzalim kepada saya...," jawab si ibu.

"Bagaimana khalifah bisa berbuat dzalim kepada ibu?" sang khalifah ingin tahu.

"Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia dapat melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang  yang senasib dengan saya," jawab si ibu demikian menyentuh hati Umar.

Umar berdiri dan berkata, "Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali."

Dipenghujung malam yang telah larut itu, Umar bergegas menuju Baitul Mal.  Ia mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya.

Karena jarak antara Madinah dengan rumah sang ibu cukup jauh, keringat bercucuran dari sang khalifah. Aslan berniat membantu Umar mengangkat karung itu. Dengan tegas Umar menolak. "Takkan kubiarkan kamu membawa dosa-dosa saya diakhirat kelak. Biarkan saya membawa karung besar ini, karena saya merasa begitu bersalah atas apa yang terjadi pada ibu tersebut beserta anak-anaknya," jawab Umar dengan nafas tersengal-sengal.

Ketika khalifah menyerahkan sekarung gandum kepada si ibu besarta anak-anaknya, betapa gembiranya mereka.  Kemudian "lelaki tidak dikenal" itu memberitahukan si ibu untuk menemui khalifah besok, untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya ke Baitul Mal.

Saya hanya ingin berbagi. Mungkin saya bukan anak teknik yang konkret untuk melakukan sesuatu bagi mereka yang ada di jalan sana. Keinginan besar saya untuk selalu berbuat yang terbaik hanya lah sebuah keinginan, saya hanya manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan...

Satu hal yang saya dapatkan, banyak pelajaran berharga yang terkadang kita dapatkan dari orang-orang yang tidak seberuntung kita... Mereka begitu ikhlas menerima apa yang Tuhan berikan, tanpa sedikitpun mengeluh... Karena mereka yakin, bahwa Tuhan selalu adil bagi hamba-Nya...

“Amat besar kebenciannya di sisi Allah - kamu memperkatakan sesuatu yang kamu tidak melakukannya”.
Q.S. As-Saff : 3

Kalau rakyat mengalami kekenyangan, akulah orang terakhir yang menikmatinya. Tapi jika mereka mengalami kelaparan, akulah yang pertama merasakannya”. Kata Umar bin Khattab pada suatu ketika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan buat curcol Anda tentang postingan ini :)

terima kasih atas komentarnya
riza