Pages

support : waktu dan kehadiran

Entah ini hanya ada sebagai salah satu kultur warga Teknik UI, atau hanya segelintir orang seperti kaumku? Bukan kaum hawa, tetapi seperti yg selalu mereka golongkan tentang aku dan beberapa temanku.
Beberapa waktu lalu, setelah menunaikan kewajibanku sebagai anak BEM UI di salah satu departemen, di malam hari aku paksakan diriku ditemani CS1 menuju suatu daerah asing untukku. Lokasinya tidak jauh dari Bogor Trade Mall (BTM). Kampung Budaya Sindang Barang, itulah tempatnya.
Aku kesana bukan tanpa alasana tentunya. Di waktu yang bersamaan, terdapat acara BEM UI juga di tempat lain. "Untungnya masih di sekitar Jabodetabek dan bisa ditempuh dalam hitungan menit", pikirku malam itu.
Ya, alasanku adalah untuk sekedar menyempatkan diri menanyakan kondisi acara itu.
Sekitar pukul 01.00 dini hari aku tiba di TKP (dengan sedikit nyasar tentunya). Berbincang sebentar dengan penanggung jawab (bahasanya SC kali ya) acara itu, dan karena kulihat ia sangat kelelahan, kubiarkan kantuk membawanya menuju pulau mimpi.
Rencananya tak kubiarkan kantuk menyapaku. Tapi, raga ini pastinya butuh istirahat. Yasudahlah, kupenuhi haknya. Benar saja, sekedar merebahkan diri di atas kayu alas ini. Karena ternyata, sejam sekali aku terbangun dengan segala pikiran yang ada di kepalaku. Hingga akhirnya, pukul 04.00 tak kuasa membangkitkan tubuhku untuk menikmati udara segar pagi itu. Aku terus biarkan hingga entah pukul berapa, kamar mandi menjadi pilihan untuk menyegarkan semua otot-otot dan syaraf di dalam tubuhku.
Sedikit menikmati "dinamika" yang terjadi pada peserta kegiatan itu, menyadarkanku untuk segera kembali memenuhi kewajibanku yang lain. Akhirnya, aku pamit. Dan benar saja pertanyaan yang muncul dari beberapa orang yang sudah kuduga sebelumnya. "Terus, ngapain lo kesini?"
Aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan senyuman.
Kupikir-pikir, selintas tak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Terkadang aku berpikir apakah ini hanya pola pikirku yang menyikapi ini semua dengan sangat sederhana? BUKAN! Ini tidak sederhana, bung! Ini tentang bagaimana kita merespon dan memberikan sesuatu. Ini tentang kehadiran kita bagi yang lain.
Waktu yang kita miliki hanya 24 jam sehari. Sedangkan terkadang kita memiliki agenda berbeda di waktu yang sama. Ini masalah prioritas!
Di suatu sesi curhat bersama orang tua, "mbak, kamu mbok yo istirahat dulu. Pasti kan ada temen2 kamu yang lain yang bisa ngerjain itu."
Ya, pasti ada orang lain yang memiliki tanggung jawabnya disana. Tapi bukan itu, percaya atau tidak, tiap orang memiliki kebutuhan untuk selalu diperhatikan. Aku bukan tipe orang yang peka terhadap masalah ini. Dan bahkan, aku pun seringkali melalaikan kebutuhan orang-orang di bawahku. *maaf untuk semua rangers atas kealpaan dan ketidakhadiranku di berbagai kegiatan.
Dulu, aku sering melihat kecemburuan itu muncul dari orang-orang yang aku pikir sangat kuat dan mampu mengendalikannya sendiri. Tapi, akhirnya aku sadar, dia bukan superman! Sekalipun Clark Kent sang superman itu pernah merindu sang ibu. Pun ia butuh Louis Lane, sang kekasihnya. haha... kok jadi ngelantur gini? :D
Ya, disadari atau pun tidak, waktu dan kehadiran yang kita berikan kepada orang lain sangat berarti. Ini pun terus coba aku jadikan bahan evaluasi diriku sendiri.

cerita Rasya #1

Mulai menulis bukan hobby baru bagiku, namun kesempatan yang tersisa dari waktu senggang memang membuatku meninggalkan hobby ini.

Sampai akhirnya, otakku sudah penuh menyimpan jutaan memory yang terekam begitu saja. Ibarat data di komputer, mungkin hanya sekedar ter-save beberapa saat, kemudian delete permanently. Ada yang tersisa di recycle bin, namun hanya bayangan, tanpa cerita full version-nya.

Hari ini, jemariku tergelitik untuk menari lincah di atas keyboard. Menceritakan kejadian beberapa waktu lalu ketika akhirnya aku bertemu sahabat lamaku.

Ini tentang suatu petang ketika aku baru pulang dari sebuah forum pemuda se-Indonesia. Kebiasaanku men-silent HP memang belum berubah. Berisik, pikirku selalu. Sejak break makan siang, aku memang disibukkan sebagai operasional yang kerjaannya kesana-kemari memastikan semuanya siap.

Hingga akhirnya kudapatkan 4 panggilan tak terjawab dari rumah, 2 dari ibu - wah ada apa kah gerangannya di rumah? pikirku sejenak, 2 dari Angger - sahabat lamaku yang jarang sekali ber-telpon atau BBM-an atau sejenisnya denganku dan tiba-tiba sekarang? - dan BBM dari Ayu, dan terakhir BBM dari Angger. What? Angger ada apa ya? Tumben banget.

"Lagi dimana?"
Kalimat pertanyaan yang aneh banget dilayangkan oleh seorang Angger via BBM. Tak kubalas hingga akhirnya kubaca BBM dari Ayu yang juga menanyakan hal sama.

"Lagi dimana, Sya? Angger ngajakin kita makan bareng nih. Mau nraktir katanya."
Ayu adalah sahabatku juga, kami sering bersama dalam "project", pun dengan Angger. FYI, Ayu adalah partner-in-crime-nya Angger bersama Teh Yeyen - sahabatku juga, namun karena begitu wise-nya beliau, aku dan teman-teman sangat "hormat" dan kenapa panggilan "Teh" itu melekat? Itu pastinya karena dia yang urang Sunda asli.

Aku pun tersadar, mereka menghubungiku sejak pukul 4 sore tadi.
Bergegas pun aku jawab.
"Wah, traktiran? mau banget, lagi laper nih!"

Sent!
langsung ku-copy-paste untuk kukirimkan juga ke Angger. Sent!

Keluar dari Wiladatika, tempat forum seminggu bersama pemuda brilliant se-Indonesia itu, kuarahkan Jazz hitam-ku ke Depok. 5 menit kemudian, kelap-kelip layar BlackBerry-ku menggoda untuk kuraih. Nama Angger bertengger disana,

"Assalamu'alaikum...", kalimat ritual yang selalu kuucapkan pertama kali ketika mengangkat telpon - tentunya jika aku mengenal lawan bicaraku sebagai Muslim - aku ucapkan dengan senyum yang pastinya tak terlihat oleh lawan bicaraku itu.

"Wa'alaikumsalam, lagi dimana lo sekarang?"
Suaranya yang khas, sungguh masih aku ingat dengan kental nada lembut itu.

"Lagi di jalan, baru pulang FPI."

"Kebiasaan silent BBnya kok ga ilang-ilang sih?"

AKu hanya tertawa renyah mendengar kompleinnya.

"Malah ketawa sih? Emang ada yang lucu? Kalo ada telpon penting gmn? Misalnya lo keterima scholarship di luar dan harus konfirmasi saat itu juga kan rugi banget kalo ga lo angkat, Sya!"

Masih dengan tawaku yang belum terhenti aku pun menjawabnya santai,
"Iya, iya, sorry... Abisnya tadi aku sibuk banget, maaf yaa.."

"Selalu deh. Yaudah, sekarang lo dimana? Bisa jemput gue? Masih lapar kan? Gue 1 jam lagi sampe di GOR Cibubur, deket Wiladatika."

"Yah, kirain mau di Depok, aku uda mengarah ke Depok nih. Yauda deh, aku puter balik. Btw, kenapa aku yang jemput kamu?"

"Gue naik mobil jemputan kantor nih, capek kalo nyetir sendiri. Tau sendiri kan lo kalo gue sendiri pasti bawaannya ngantuk."

"Oke, oke, jadi ketemu dimana nih? Depan GORnya ya?"

"Iya, depan GOR aja. Thank you ya, Sya!"

"Anytime"

klik.

"Dih, kebiasaan deh. Ga ngucapin salam.", aku selalu kesel kalo ada orang ga sopan main tutup telpon tanpa ngucapin salam, apalagi yang muslim tanpa "Assalamu'alaikum".

Aku pun memutar arah kembali ke daerah Cibubur. Sesampainya di depan GOR Cibubur, agak sangsi juga sih, karena aku ga tau apakah benar ini GOR yang dimaksud Angger atau bukan.

Setelah memarkir, kuputuskan untuk menunggu saja di dalam mobil, semenit, 5 menit, hingga hampir setengah jam berlalu. Kuputuskan untuk mencari sedikit udara malam. 15 menit kemudian, tepat pukul 8.10pm, layar BB-ku pun memberitahukan adanya BBM baru, dari Angger.

"Gw uda hampir sampe."

Mataku menelusuri jalanan kecil ini. Kudapatkan sebuah bis putih yang baru saja masuk kawasan aktivitas pemuda dan olahraga ini.

"Bis kamu warna putih? Aku parkir tepat di belakangnya."
cepat aku membalas BBM-nya.

Your Body Is A Wonderland, suara lembut John Mayer mengalun dari BlackBerry-ku, special tone untuk satu-satunya orang di kontak si hitam-ku yang mungil ini.

"gue arah jam 6 dari mobil lo ya."

klik.

Belum sempat sepatah katapun keluar dari bibirku. Ucapannya melalui telpon itu walaupun sedikit membuatku kesal, langsung membuat respon otakku mengarahkan pandanganku untuk mencari sosoknya.

Aku pun langsung menaiki si hitam sexy-ku dan menghampirinya.

Ya, aku memang suka warna hitam, it's so glamour I ever seen.

Tanpa basa-basi, dia pun membuka pintu tumpangan di samping supir dan duduk. Sebelum menutup pintu mobil, "stop! kamu yang nyetir ya! Capek nih.", pintaku kemudian.

Dia pun menurutiku, padahal aku tahu dia tak kalah lelahnya dengan apa yang aku lakukan hampir seminggu ini dengan forum yang aku ikuti itu dan berbagai kegiatan ekstra di kampus.

"Mau makan dimana?", dia pun memulai pembicaraan kami.

"Terserah."

"Lo yang milih deh. Tapi kita ke ATM dulu ya."

"Kok aku yang milih? Kan kamu yang nraktir."

"Ayolah, lo yang milih!"

"hmm... aku pengen ayam bakar.", kemudian aku memutuskannya.

Setelah beberapa waktu menunggunya di mobil dan sosoknya hilang di balik pintu ATM, dia pun kembali duduk di balik kemudi.

"Jadi?", tanyanya yang ku yakin hanya sekedar mengulang keputusanku tentang pilihan tadi.

Aku pun menoleh, sekedar menatap matanya, tersenyum simpul, memantapkan pilihanku tadi, "Ayam bakar!"

Oh Tuhan, senyumnya, senyum yang sudah lama sekali tak kulihat...

Yaa... Inilah pertemuan pertamaku sejak mungkin setahun atau 2 tahun tak pergi bersamanya, hanya berdua bersamanya...
Kenangan-kenangan yang dulu pernah aku jalani bersamanya pun berkelabat dahsyat memenuhi memory otakku yang tentunya sudah ada alarm pertanda kepenuhan atau bahkan hampir drop. Agak lebay memang. Tapi itulah, semua canda tawa bahkan hingga isak tangis yang tak kunjung reda, mewarnai persahabatan kami dahulu. ^^

#random

Ketika hanya sekadar memahami ternyata tidak cukup, lantas apa?

Ketika menghargai nyatanya sudah menjadi batas tolerir untuk mengerti kondisi yang ada, lantas bagaimana?

Ketika intuisi ternyata tidak dapat diakselerasi dan digunakan dengan baik, lantas harus apa?

Ketika kekecewaan mencapai puncak ekstrimnya, lantas?

Mengeluh itu tidak baik, so what?

Hanya terus membiarkan air itu menjadi keruh? Membuat sakit perut semua orang?

Hingga akhirnya, kematian menjelma menjadi obat terakhir.....

Berjuang Bersama Nasrullah

Namanya Muhammad Nasrullah, bocah berusia 1.5 tahun dari keluarga kurang mampu menderita retinoblastoma, tumor ganas yang berkembang di sel retina mata. Pekerjaan ayah Nasrul (sapaan akrab Muhammad Nasrullah.red) adalah pedagang ikan di pasar, sedangkan ibu Nasrul hanyalah ibu rumah tangga biasa.
Nasrul dan keluarga tinggal di Kampung Bojong Sompok, Desa Tegal, RT.07/05, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Retinoblastoma (Rb), seperti yang dijelaskan sebelumnya, merupakan sel kanker yang berkembang dengan cepat dan daerah perkembangan akarnya adalah di sel retina, jaringan mata pendeteksi cahaya. Ya, penderita retinoblastoma ini akan mengalami kebutaan karena ketidakmampuannya menangkap cahaya.

Hari ini menjadi rekaman kami menyaksikan dan mendengarkan langsung kehidupan Nasrul dan keluarga. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dari kampus UI Depok, berikut kami sajikan cerita lengkapnya.

Nasrul merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara.

Ketika pertama kali tiba di teras rumahnya, kami dipesankan untuk tidak berisik. Karena ternyata Nasrul mengalami apa yang mungkin bisa disebut “shock” atau bahkan “trauma” dengan kehadiran suara orang yang tidak dikenalnya. Kenapa? Menurut penuturan orang tua Nasrul, hal ini dimungkinkan karena ketakutan Nasrul ketika matanya pertama kali diperiksa oleh dokter. Dan saya tidak perlu jelaskan lebih detil, Anda bisa bayangkan sendiri bagaimana ketika mata Anda kemasukan benda asing kecil dan membuat mata Anda terasa perih begitu hebatnya. Bedanya, yang dialami Nasrul adalah seperti yang terlihat di foto.

Nasrul dan keluarga tinggal di sebuah bangunan rumah permanen, tetapi tanpa ada kemewahan di dalamnya. Semua harta benda keluarga Nasrul telah habis dipergunakan untuk biaya pengobatan kakak kandung Nasrul. Ialah (alm.) Hilda. Ya, sekitar 4 tahun yang lalu, (alm.) Hilda, kakak sulung Nasrul mengalami hal serupa. Ketika itu, beban biaya operasi memanglah dibebaskan berkat adanya jamkesda. Namun ternyata jamkesda tidaklah mengakomodir semua biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan pengobatan sang kakak. Terutama kemoterapi yang biayanya super dahsyat. Banyak orang mengatakan bahwa kemoterapi dilakukan untuk penyakit orang kaya. Sehingga kemoterapi tidaklah masuk dari bagian fasilitas yang di-support untuk jamkesda atau askeskin atau asuransi untuk keluarga kurang mampu lainnya. Saya pun hanya bisa menggelengkan kepala melihat kenyataan pahit ini.

Pada kasus (alm.) Hilda, sekali melakukan kemoterapi, biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp.6juta. Biaya tersebut belumlah termasuk biaya obat (lain, diminum). Ketika masa itu, keluarga hanya sanggup menebus separuh resep obat sebesar Rp.6juta (juga). Semua biaya ini pun dibayar hutang kepada pihak Rumah Sakit dengan jaminan dari warga setempat. Kemoterapi pun harus dilakukan seminggu sekali. Silahkan rekan-rekan hitung sendiri berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk 6-10 kali proses kemoterapi dan obat yang hanya separuh resep itu. Ya, (alm) Hilda menjalani proses itu sebanyak 6-10 kali sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Biaya di atas belum termasuk biaya sewa rumah singgah (kontrakan) yang ditempati selama proses pengobatan. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan kondisi jarak tempuh yang cukup jauh (Bogor-Jakarta) dan kapasitas kamar rumah sakit yang terbatas.

4 bulan ini, hingga sekarang, Nasrul sedang berjuang dengan penyakit itu, dengan sel-sel ganas yang terus menggerogoti tubuhnya. Sedangkan sudah hampir 2 pekan surat jaminan askes dari pusat belum turun. Karena ternyata, dengan perhitungan biaya perkiraan yang sangat besar di luar kemampuan pemerintah daerah tersebut, dan tanpa adanya jaminan biaya untuk perawatan di RSCM Jakarta sebagai Rumah Sakit rujukan, Nasrul belum tersentuh medis yang seharusnya. Hingga tulisan ini hadir di depan Anda, Nasrul barulah mendapat perlakuan dari puskesmas Desa Tegal tempat tinggalnya dan pemeriksaan dari RS. Cibinong.

Awalnya mata kanan, tapi sekarang mata kirinya pun telah buta, dan sel kanker itu akan semakin menjalar jika tidak bergerak cepat.

Dan jika rekan-rekan menanyakan estimasi biaya yang harus dikeluarkan, tentulah kami tak dapat merincinya secara detil.

Nasrul tidaklah berjuang sendiri, karena kami percaya, rekan-rekan ada untuk berjuang bersama menyelamatkan hidup Nasrul, menghadirkan kembali senyuman di wajahnya seperti anak-anak kecil lainnya.

Bagi rekan-rekan yang ingin membantu berupa donasi, dapat langsung disalurkan melalui Sosmas BEM UI baik diantarkan ke lantai 2 pusgiwa UI, atau mentransfer ke :

BSM 1637003770 a.n. Dana Sosial BEM UI

Mandiri 157-00-0112179-8 a.n. Akbar Nikmatullah Dahlan

BNI (a) 0129586849 a.n. Mar'atul Azizah

BNI (b) 0201952189 a.n. Destiyani

BCA 7370211706 a.n. Chandra Iman

Mohon dengan sangat untuk melakukan konfirmasi ke 0857.1980.6606 dengan format :
Nama – Instansi – Nama Bank – Jumlah Ditransfer

================
“Allahumma Robbannaas azhibil ba’sa isyfihi wa antasy syaafi laa syifaa’an illa syifaa’uka syifaa’an yaa yughoodiru saqoman”
 (“Yaa Allah Rabb sekalian manusia, hilangkanlah kesengsaraan ini dan sembuhkan ia. Karena sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh dan tidak ada kesembuhan melainkan hanya dari-Mu yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lagi”)

page FB : https://www.facebook.com/pages/PEDULI-NYAWA-NASRUL/150615261703552
salam,
Mar'atul Azizah
Kepala Departemen Sosial Kemasyarakatan BEM UI 2011

#TogetherInExcellence

SJSN, BPJS, dan Nasrullah

Salam,
Rekan2 setanah air...
Beberapa waktu lalu, kita sebagai mahasiswa mungkin bangga mengenakan almamater bersejarah masing2, berteriak, tak pedulikan panasnya matahari, demi satu hal, SAHKAN RUU BPJS!
Saat ini?
UU BPJS itu telah legal.
Memang baru beberapa hari lalu, beberapa di antara kita bangga, bahkan mungkin celotehan ringan khas anak muda pun keluar, “sebagai bukti untuk anak cucu kita nanti”. J
Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Ya, itu definisi dasar berdasarkan UU SJSN yang telah disahkan di tahun 2004, jauh sebelum pro dan kontra pengesahan UU BPJS yang merupakan amanah konstitusi dari UU SJSN tersebut.
Pertanyaannya sekarang, pada definisi jaminan sosial di atas, Seperti apakah kebutuhan dasar hidup yang layak? Saya bukanlah ahli hukum yang mengerti banyak tentang perundang-undangan. Saya hanyalah seorang calon engineer, yang bagaimanapun mungkin terlalu banyak menganalisa, tetapi harus berakhir pada kesimpulan untuk mengimplementasikan atau tidak. Ya, kesimpulan terakhir ada pada hasil akhir dari apa yang dianalisa.
Okelah, saya tidak perlu banyak bicara tentang itu.
Kembali pada persoalan jaminan sosial.
Disini saya hanya akan menitikberatkan pada kesehatan.
Ya, kesehatan! Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi dasar dari segala macam persoalan bangsa akan saya bahas pada tulisan saya selanjutnya.

.KESEHATAN.

Beberapa waktu lalu, setelah keluar hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan ibu saya, saya tidak mengerti apa yang ada di selembar kertas putih itu. Semua berbahasa medis. Hingga akhirnya memaksa saya untuk menanyakan pada ahlinya. Bukan tentang hasil ini yang akan saya bahas. Tapi, MASALAH BIAYA.
Sempat berbincang banyak dengan ibu saya, “kalau bapak misalnya ga mampu bawa ibu ke rumah sakit, periksa ini itu, operasi, beli obat, dsb... gimana kondisi ibu ya sekarang?”.
Saya hanya mengulang pertanyaan itu dalam hati, “gimana nasib orang yang tak mampu ya jika mengalami hal ini? Atau mengalami hal lebih parah dari ini?”. Pertanyaan ini terlontar bukan karena keluarga saya berlebihan secara materi, namun memang untuk saat ini bisa dikatakan sebatas cukup, walaupun saya tahu, bapak saya bekerja ekstra beberapa tahun terakhir ini untuk saya dan adik saya, dan saat ini untuk ibu saya tentunya.
Pertanyaan yang saya sendiri tak sanggup menjawabnya. Tamparan bagi saya untuk segera menyelesaikan “beban” ini. Seperti akhir tahun lalu, ketika saya harusnya sudah menguatkan azzam untuk menuntaskannya segera. Aaaah... sudahlah, itu yang lalu!
Malam ini, kembali pertanyaan itu memenuhi pikiran saya. Ketika saya yang semula hanya ingin mencari informasi tentang banjir di ibu kota. Namun, yang saya dapatkan lebih dari sekedar mengiris perasaan saya.

------------------------------------------------------------------------------
Namanya Muhammad Nasrullah, bocah berusia 1,5 tahun dari keluarga kurang mampu menderita retinoblastoma (tumor ganas yang berasal dari retina). Pekerjaan orang tua Nasrullah adalah berjualan ikan dari kampung ke kampung, terkadang bahkan tidak berjualan dikarenakan barang dagangannya tidak ada. Nasrullah hanya bisa dirawat di rumah, karena tak mampu untuk membayar biaya rumah sakit. Walaupun (menurut informasi) biaya operasinya gratis, namun uang untuk menebus obatnya tidak ada.
Astaghfirullah...
Hati ini pilu, “Rabb, peluklah adikku ini selalu dalam belaian kasih sayang-Mu, jaga pula ibu hamba yang mungkin sedikit lebih beruntung darinya, bagaimanapun kami hanyalah hamba-Mu yang lemah tak berdaya”.